Polda Metro Jaya sedang menghadapi sorotan setelah mengembalikan 16 buku milik Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. Buku-buku ini sebelumnya disita dalam konteks kasus dugaan penghasutan terkait demonstrasi yang terjadi pada bulan Agustus lalu.
Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru Foundation, Hasnu Ibrahim, menyampaikan informasi tersebut setelah mendaftarkan permohonan Praperadilan Delpedro dan kawan-kawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengembalian buku ini menunjukkan adanya proses hukum yang berjalan seiring dengan upaya penyelesaian kasus yang melibatkan para aktivis tersebut.
Menurut Hasnu, buku-buku yang dikembalikan tersebut tidak terkait dengan kasus yang dipersangkakan kepada Delpedro. Isi dari buku-buku itu mencakup topik-topik penting seperti demokratisasi, hak asasi manusia, dan kondisi di Papua, yang sangat relevan dengan kerja-kerja advokasi mereka.
Proses Hukum dan Permohonan Praperadilan Para Aktivis
Pada tanggal yang sama, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan ini ditujukan untuk Delpedro Marhaen, Staf Lokataru Foundation Muzaffar Salim, serta beberapa aktivis lainnya yang ditangkap dalam aksi demonstrasi.
Dalam dokumen permohonan tersebut, pihak TAUD menyebutkan bahwa Tergugat dalam kasus ini adalah Direktur Reserse Siber dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Langkah ini diambil untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan para aktivis tersebut, yang dicurigai melanggar hak-hak hukum mereka.
M. AFIF Abdul Qoyim, perwakilan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi, menegaskan perlunya pengawasan yang lebih ketat dari institusi judisial terkait penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Menurutnya, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.
Kepentingan Buku-Buku yang Dikembalikan dan Implikasinya
Buku-buku yang telah dikembalikan itu memiliki peranan penting bagi Lokataru Foundation. Tidak sekadar bahan bacaan, buku-buku tersebut menjadi bagian integral dari kerja-kerja penelitian, advokasi, dan pemberdayaan kapasitas yang mereka lakukan.
Pihak Lokataru menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi harus dijaga, terutama dalam konteks kerja organisasi yang berorientasi pada hak asasi manusia. Pengembalian buku ini menjadi simbol harapan bagi mereka untuk terus menjalankan misinya tanpa adanya campur tangan dari pihak berwenang.
Bila merujuk pada konteks yang lebih luas, situasi ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh aktivis dan organisasi yang bergerak dalam bidang advokasi di Indonesia. Mereka sering kali berhadapan dengan risiko penangkapan dan penyitaan, yang dapat memengaruhi efektivitas kerja mereka.
Apa yang Dapat Dipelajari Dari Kasus Ini?
Kejadian yang menimpa Delpedro dan rekan-rekannya menggambarkan pentingnya perlindungan terhadap aktivis hak asasi manusia di Indonesia. Penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan transparan, tanpa membawa agenda yang berpotensi merugikan pihak-pihak yang berbeda pandangan.
Melalui kasus ini, publik diharapkan semakin peka terhadap isu-isu hak asasi manusia dan pentingnya kebebasan sipil. Setiap individu yang terlibat dalam gerakan sosial memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dan melakukan aksi yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Selain itu, kerja-kerja advokasi harus terus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap masyarakat dapat mengakses pengetahuan dan memahami hak-hak mereka. Ini adalah langkah awal untuk mendorong perubahan yang lebih baik di tatanan sosial dan politik.