Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) secara tegas menolak usulan untuk menjadikan Soeharto, mantan Presiden Indonesia, sebagai pahlawan nasional. Penolakan ini bukan hanya berkaitan dengan pandangan historis, tetapi juga mencerminkan luka mendalam bagi masyarakat yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia di era pemerintahannya.
Soeharto, yang memerintah selama lebih dari tiga dekade, meninggalkan warisan yang kompleks di Indonesia. Kebijakan yang diterapkan selama masa pemerintahannya banyak dipertanyakan dari sudut pandang moral dan etika.
Dalam konteks ini, KIKA menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya sekadar wacana, tetapi merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.
Penolakan KIKA terhadap Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
KIKA mengemukakan penolakan tegas terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Mereka mencatat bahwa tindakan ini berisiko melupakan sejarah kelam yang dialami banyak orang di masa Orde Baru.
Menurut KIKA, usulan tersebut menciptakan ketidakadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Soeharto. Mereka berpendapat bahwa Soeharto seharusnya diingat sebagai simbol kekuasaan yang represif.
KIKA mencermati bahwa pemerintah yang dipimpin Soeharto ditandai oleh budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sikap represif terhadap kebebasan berpendapat dan media juga menjadi catatan buruk di era tersebut.
Pelanggaran HAM di Era Soeharto dan Dampaknya bagi Masyarakat
Pemerintahan Soeharto dikenal dengan banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa insiden yang dikenal mencakup Peristiwa 1965-1966 yang dikenal dengan tragedi kemanusiaan yang menyakitkan.
Selain itu, KIKA menyebut beberapa peristiwa lain seperti Penembakan Misterius (Petrus) dan Peristiwa Tanjung Priok yang menunjukkan pengabaian terhadap hak-hak dasar manusia. Hal ini memperkuat argumen bahwa pahlawan seharusnya diidentifikasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, pelanggaran ini meninggalkan jejak dalam bentuk trauma kolektif bagi masyarakat. KIKA menyerukan pentingnya mengingat peristiwa-peristiwa tersebut agar tidak terulang kembali di masa depan.
Ketidakadilan dalam Usulan Pemberian Gelar Pahlawan
KIKA menegaskan bahwa memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menciptakan ironi sejarah. Di sisi lain, pengusulan tokoh lain seperti Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, menunjukkan kontras yang mencolok dalam pengakuan nasional.
Dalam pandangan KIKA, menciptakan pahlawan dari sosok yang bertanggung jawab atas banyak pelanggaran hak asasi manusia merupakan penghinaan terhadap mereka yang berjuang untuk memperjuangkan keadilan. Ini menunjukkan perpecahan moral dalam sistem penilaian sejarah.
Hal ini tidak hanya berdampak pada ingatan sejarah, tetapi juga dapat memengaruhi cara masyarakat memandang nilai-nilai keadilan dan demokrasi. KIKA menyerukan bahwa ingatan sejarah harus dikelola dengan arif dan bijaksana.
Pentingnya Pengakuan dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
KIKA menegaskan bahwa pengakuan terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu sangat penting. Mereka mendorong negara untuk bertanggung jawab dan memberikan keadilan kepada korban.
Proses penyelesaian pelanggaran HAM harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat merasakan keadilan. Hal ini juga penting untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Selain itu, pendidikan sejarah harus mencerminkan kebenaran. KIKA mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga memori sejarah agar generasi mendatang tidak melupakan luka sejarah yang pernah terjadi.
KIKA menjelaskan bahwa upaya mengabadikan Soeharto sebagai pahlawan merupakan sebuah distorsi. Ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang harus diperjuangkan oleh seluruh bangsa.
Bangsa yang melupakan sejarahnya, menurut KIKA, berisiko kehilangan arah moral. Orang-orang yang memperjuangkan kebebasan tanpa menganggap kembali luka sejarah akan menghadapi tantangan besar di masa depan.




