Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, baru-baru ini mengumumkan bahwa PT PMT (Peter Metal Technology) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus radiasi radioaktif cesium 137 yang terjadi di kawasan industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Pengumuman ini disampaikan dalam rapat kerja di Komisi XII DPR, di mana Hanif menekankan bahwa proses hukum terhadap perusahaan tersebut masih berlanjut.
“Bareskrim telah menetapkan PT PMT sebagai tersangka terkait dengan kejadian Cesium 137, dan saat ini prosesnya sedang berlangsung,” kata Hanif. Kasus ini mengejutkan publik, karena melibatkan isu serius mengenai keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
PT PMT sebelumnya dituduh mengimpor bahan scrap yang mengandung cetakan radioaktif, yang berpotensi mencemari produk hasil laut Indonesia. Belum ada langkah konkret dari pihak perusahaan untuk menangani isu serius ini, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.
Proses Penyelidikan dan Dampak Lingkungan yang Dihasilkan
Kementerian Lingkungan Hidup juga menyatakan bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan mendalam untuk menelusuri sumber radiasi yang diduga berasal dari dua jalur. Pertama, dari impor scrap besi dan baja yang dilakukan PT PMT, dan kedua, kemungkinan pelimbahan cesium 137 yang berasal dari dalam negeri. Hal ini krusial untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Dari penyelidikan sementara, ditemukan bahwa scrap besi yang digunakan oleh PT PMT berasal dari luar negeri dan mengandung kontaminasi cesium 137. Keputusan untuk menghentikan sementara kebijakan impor scrap menjadi langkah penting untuk memastikan keselamatan.
Kementerian meminta agar seluruh pelabuhan dan perusahaan ekspor menyiapkan alat pendeteksi radioaktif serta sertifikat yang diperlukan. Komitmen untuk tidak memberikan toleransi terhadap kelalaian sangat ditekankan, demi keselamatan publik dan stabilitas ekonomi nasional.
Penghentian Operasional PT PMT dan Kendala Investigasi
Operasional PT PMT telah terhenti sejak 12 November, dan Ketua Satuan Tugas Penanganan Kontaminasi Cesium-137, Bara Krishna Hasibuan, menjelaskan bahwa sumber kontaminasi ini berasal dari scrap metal yang digunakan perusahaan dalam proses peleburan. Investigasi yang dilakukan tim dari BRIN, Bapeten, dan kepolisian juga menunjukkan fakta yang serupa.
Namun, tim investigasi menghadapi kendala karena pabrik sudah berhenti beroperasi dan mereka tidak dapat mewawancarai manajemen untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. “Kendala ini serius, karena tanpa informasi yang jelas, kami tidak bisa melakukan analisis akar penyebab yang komprehensif,” ujar Bara.
Akurasi informasi mengenai asal-usul scrap metal ini sangat penting untuk memahami bagaimana kontaminasi terjadi, namun keterbatasan akses membuat investigasi menjadi semakin sulit.
Kurangnya Catatan Resmi mengenai Impor Scrap Metal
Yang menjadi sorotan dalam investigasi ini adalah tidak adanya catatan resmi mengenai impor scrap metal oleh PT PMT. Meski ada keharusan untuk mendapatkan pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian, ternyata tidak ada dokumen yang mendukung kegiatan impor tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kelalaian baik di tingkat manajemen perusahaan maupun instansi terkait.
Ketidakpastian ini semakin memperburuk situasi, mengingat Kementerian Perindustrian tidak pernah menerbitkan peraturan teknis yang seharusnya menjadi dasar perizinan impor scrap. Discourses menyebar di kalangan masyarakat mengenai tanggung jawab perusahaan dan pemerintah di dalam kasus ini.
Adanya peraturan yang ketat dalam pengimporan bahan berpotensi berbahaya diharapkan dapat mencegah kejadian serupa di masa depan, dan memastikan bahwa semua pihak mematuhi prosedur yang telah ditetapkan.




