Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa tahun 2024 menjadi salah satu titik terendah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani kasus korupsi. Penurunannya cukup signifikan dan menggugah banyak pihak untuk menanyakan efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Rumah Resonansi ICW, peneliti ICW, Zararah Azhim Syah, menyampaikan bahwa jumlah perkara dan tersangka yang ditindak oleh aparat penegak hukum telah menurun. Hal ini menandakan adanya tantangan besar yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan penindakan kasus korupsi.
Azhim menyatakan bahwa ICW mencatat sebanyak 364 kasus tindak pidana korupsi dengan total tersangka mencapai 888 orang pada tahun 2024. Ini menunjukkan tren penurunan berkelanjutan yang patut dicermati secara serius oleh pemerintah dan masyarakat.
Perbandingan Kasus Korupsi dari Tahun ke Tahun di Indonesia
Menganalisis data dari tahun-tahun sebelumnya, ada pergeseran yang mencolok dalam jumlah kasus dan tersangka. Pada tahun 2020, terdapat 444 kasus dengan 875 tersangka yang ditangani oleh APH.
Angka ini meningkat menjadi 533 kasus dengan 1.173 tersangka pada 2021. Meskipun ada harapan bahwa tren ini akan terus berlanjut, kenyataannya menunjukkan hal yang berlawanan pada tahun 2024.
Di tahun 2022, jumlah kasus mencapai 579 dengan 1.396 tersangka, dan tahun lalu, APH menangani 791 kasus dengan 1.695 tersangka. Namun, di tahun 2024, angka tersebut malah menurun, menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Dampak Kasus Korupsi Terhadap Keuangan Negara
Dalam laporan ICW, potensi kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tahun ini mencapai Rp279,9 triliun. Hal ini terutama disebabkan oleh kasus korupsi dalam tata niaga komoditas Timah yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Angka kerugian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat luas benar-benar terdampak oleh tindakan koruptif ini. Keberadaan aspek-aspek lain seperti suap, pungutan liar, dan pencucian uang turut menyumbang angka kerugian yang signifikan.
Pentingnya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi menjadi sorotan utama. Namun, ada ironi dalam faktanya bahwa instrumen hukum yang ada belum dimaksimalkan untuk mencapai tujuan ini.
Minimnya Transparansi dan Akuntabilitas pada Penegakan Hukum
Azhim mengungkapkan bahwa penurunan kinerja APH sebagian disebabkan oleh kurangnya transparansi dalam data penanganan kasus. Hal ini berdampak pada ketidaktahuan masyarakat terhadap kinerja yang ada.
Dia menambahkan bahwa ketiadaan akses informasi yang memadai mengakibatkan akuntabilitas kelembagaan semakin lemah. Situasi ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem penegakan hukum.
Transparansi tidak hanya penting untuk meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan tindak pidana korupsi.
Kasus Korupsi di Sektor-Sektor Kritis
COVID-19 menunjukkan dampak yang besar pada kehidupan masyarakat, dan sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar juga sangat rentan terhadap korupsi. Sektor desa menjadi salah satu yang paling terpengaruh.
Pada tahun 2024, sektor desa mencatatkan 77 kasus dengan 108 tersangka. Hal ini menunjukkan bahwa ada pola berulang dalam penyalahgunaan dana desa sejak adanya kebijakan dana desa pada tahun 2015.
Pendidikan dan kesehatan juga tercatat sebagai sektor yang memiliki tingkat kejahatan korupsi tinggi. Khususnya dalam sektor pendidikan, di mana hal tersebut tidak pernah keluar dari lima besar dalam satu dekade terakhir.




