Organisasi Democratic Judicial Reform (De Jure) baru-baru ini mengungkapkan kritik yang tajam terhadap Kejaksaan Agung, terutama terkait penanganan kasus Silfester Matutina. Dalam penilaian mereka, lembaga tersebut dinilai lamban dalam mengeksekusi putusan terhadap terpidana yang terlibat dalam kasus dugaan fitnah ini.
Direktur Eksekutif De Jure, Bhatara Ibnu Reza, mengungkapkan kekecewaannya terkait lambatnya tindakan yang diambil oleh Kejagung. Menurutnya, penundaan ini meninggalkan kesan bahwa ada masalah serius dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
“Kami melihat bahwa kejaksaan tampaknya tidak serius dalam mengeksekusi vonis terhadap Silfester,” ujar Reza. Dia mencatat bahwa Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terlihat saling melempar tanggung jawab, yang menjadi pertanda kurangnya koordinasi dalam institusi penegakan hukum.
Dampak Lambatnya Proses Penegakan Hukum Terhadap Masyarakat
Lambannya proses eksekusi ini membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas serta integritas Kejaksaan Agung. Reza menegaskan bahwa situasi ini menimbulkan dugaan praktik tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia.
Penundaan eksekusi vonis Silfester Matutina juga melahirkan spekulasi mengenai adanya pengaruh dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat mulai skeptis tentang kemampuan lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan adil dan transparan.
“Keberadaan kasus ini menjadi indikasi bahwa kewenangan Kejaksaan yang luas tidak serta merta menjamin penegakan hukum yang efektif,” kata Reza. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada sering kali dapat disalahgunakan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Strategi Perubahan Perundang-Undangan dan Pengawasan Kewenangan
Reza juga mencatat bahwa Kejaksaan Agung tampak berambisi untuk memperluas kewenangan mereka melalui beberapa rancangan undang-undang. Di antaranya adalah RUU KUHAP dan RUU tentang Perubahan Kedua UU Kejaksaan yang dinilai tidak menjamin peningkatan pengawasan.
“Dari sudut pandang kami, kurangnya sistem check and balance dalam penggunaan kewenangan ini sangat memprihatinkan,” tambahnya. Ketidakcukupan pengawasan eksternal berpotensi membuka celah untuk penyalahgunaan wewenang di masa depan.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, Reza khawatir akan terjadi krisis kepercayaan di kalangan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Ini akan menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam membangun kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Pentingnya Tindakan Segera dan Pemantauan oleh Komisi Kejaksaan
Menyikapi situasi ini, De Jure mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengeksekusi putusan terhadap Silfester Matutina. Reza menekankan bahwa penegakan hukum yang konsisten sangat penting untuk mewujudkan keadilan di masyarakat.
“Kami juga meminta Komisi Kejaksaan untuk melakukan tugas pengawasan mereka dengan serius,” ungkap Reza. Pengawasan yang ketat diharapkan dapat membantu mencegah terjadinya penyimpangan dan meningkatkan akuntabilitas lembaga penegak hukum.
Kasus seperti Silfester Matutina harusnya tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret dari Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan dalam menjalankan tugas mereka sangat diharapkan.
Dengan semua perhatian yang diberikan kepada kasus ini, masyarakat akan terus mengawasi perkembangan selanjutnya. Keterbukaan informasi juga menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan baik dan transparan.




