Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto telah menjadi sorotan publik dan mendapatkan banyak kritik. Sejarawan dan masyarakat sipil menyampaikan pandangan mereka terkait dengan proposal ini, yang dinilai bertentangan dengan rekam jejak penguasa Orde Baru tersebut. Kritik datang dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan aktivis yang mempertanyakan kelayakan pahlawan nasional berdasarkan catatan sejarah.
Anggapan bahwa seorang pahlawan nasional harus memenuhi kriteria moralitas yang tinggi menjadi perhatian dalam diskusi ini. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menegaskan bahwa gelar tersebut tidak seyogianya diberikan kepada individu dengan cacat moral dan politik sepanjang hidup.
Dari perspektif ini, banyak yang berargumen bahwa kembali mengajukan nama Soeharto adalah langkah yang tidak bijaksana. Pengusulan yang terjadi sebelumnya juga pernah ditolak dan dipertimbangkan terutama berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di bawah pemerintahannya.
Berbagai Argumen Menyikapi Usulan Gelar Pahlawan Nasional
Pada tahun 2023, Presiden ke-7 RI Joko Widodo mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa Orde Baru. Kasus-kasus tersebut, termasuk yang melibatkan aktivis buruh perempuan, semakin memperkuat alasan mengapa Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Menurut Sri, realitas ini seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
Sri juga menambahkan bahwa meskipun Soeharto memenuhi syarat administratif tertentu, pahlawan nasional harus memiliki konsistensi dalam moral dari awal hingga akhir hidupnya, yang dalam kasus Soeharto patut dipertanyakan. Hal ini menciptakan dilema di kalangan masyarakat apakah seseorang yang terlibat dalam pelanggaran berat dapat dianggap sebagai pahlawan.
Sejarawan lainnya, Andi Achdian, menyatakan ada argumen yang menyebutkan bahwa kontribusi Soeharto dalam pembangunan bangsa patut diakui. Namun, ia menggarisbawahi bahwa pembangunan tersebut banyak bergantung pada utang, yang pada akhirnya membawa Indonesia pada krisis ekonomi di tahun 1998. Hal ini memicu debat lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya menjadikan seseorang sebagai pahlawan nasional.
Resistensi dari Masyarakat Sipil dan Aktivis
Kritik terhadap usulan ini juga datang dari berbagai kelompok sipil, termasuk aktivis yang terlibat dalam gerakan reformasi. Direktur Eksekutif sebuah organisasi hak asasi manusia menilai bahwa mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional akan menjadi pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat yang lahir pada tahun 1998. Protes besar-besaran saat itu adalah momen penting yang menuntut perubahan dan penegakan hukum.
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto menyuarakan kekecewaan mereka dengan usulan tersebut, menggunakan surat terbuka yang ditandatangani oleh berbagai lembaga sebagai bentuk penolakan. Pihak mereka menganggap langkah ini sebagai suatu langkah mundur bagi semangat reformasi yang dibawa oleh rakyat Indonesia.
Asep Nurdin, juru bicara untuk salah satu komunitas mahasiswa, juga menegaskan penolakannya terhadap kemungkinan Soeharto mendapatkan gelar pahlawan. Ia berargumen bahwa penganugerahan ini bertentangan dengan sejarah bangsa dan dapat merusak pencapaian reformasi yang berhasil menuntut keadilan bagi banyak korban.
Respon Keluarga Soeharto terhadap Proses Pengusulan
Dari sisi keluarga, pendapat mengenai usulan ini berbeda jauh. Siti Hediati Hariyadi, atau lebih dikenal dengan panggilan Titiek Soeharto, menyambut positif rencana pemberian gelar kepada ayahnya. Sebagai seorang politisi, ia menyatakan rasa syukur dan harapan yang baik mengenai usulan tersebut, meskipun banyak kritik yang menyertainya.
Statemen Titiek mencerminkan pandangan personal yang mungkin sangat berbeda dari penilaian publik. Harapan terbaik bagi pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menunjukkan bagaimana keluarga menyangkal berbagai kritik yang dihadapi oleh mantan presiden tersebut.
Jika kita merenungkan kembali situasi ini, akan tampak bahwa proses pengusulan gelar pahlawan kepada Soeharto mengundang banyak perdebatan. Tidak hanya terfokus pada latar belakang kebijakannya, namun juga pada bagaimana sejarah dan perspektif masyarakat dapat dipandang berbeda.




