Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, yang lebih akrab disapa Eddy Hiariej, memiliki visi yang kuat mengenai RUU Perampasan Aset. RUU ini diharapkan tidak hanya mengatur soal perampasan, tetapi juga memfasilitasi pemulihan aset tanpa melalui keputusan pengadilan. Ini adalah langkah signifikan yang bisa mengubah wajah sistem hukum pemulihan aset di Indonesia.
Eddy menjelaskan bahwa saat ini sistem hukum Indonesia mengatur pemulihan aset hanya melalui keputusan pengadilan, sebuah proses yang dikenal dengan istilah conviction-based asset forfeiture (CBAF). Pada dasarnya, Eddy berpendapat bahwa diperlukan perubahan yang memungkinkan pemulihan aset dilakukan berdasarkan metode non-conviction based asset forfeiture (NCBAF), yang kini sedang dibahas dalam RUU tersebut.
Menurut Eddy, penerapan NCBAF sangat penting karena akan memungkinkan pemulihan aset dilakukan lebih efektif dan efisien. Kerumitan yang saat ini ada dalam proses hukum menjadi penghalang bagi penegakan hukum yang adil dan cepat.
Pentingnya Memperbarui RUU untuk Keadilan Hukum di Indonesia
RUU Perampasan Aset memang menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan DPR. Eddy berpendapat bahwa pembahasan RUU ini sebaiknya dilakukan setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) selesai. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua aspek hukum relevan telah diperhatikan secara saksama.
Walau demikian, Eddy mendukung adanya inisiatif untuk memulai pembahasan RUU Perampasan Aset pada tahun 2025. Menurutnya, partisipasi bermakna dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam proses ini agar hasilnya tidak hanya sah secara legal, tetapi juga diterima masyarakat.
Tanggapan Eddy ini menunjukkan ketidakpuasan terhadap progres yang selama ini ada. Meski demikian, ia tetap optimis bahwa dengan kolaborasi yang baik, RUU ini bisa segera direalisasikan.
Mendalami Istilah dan Proses Pemulihan Aset Secara Mendalam
Salah satu poin penting yang disampaikan oleh Eddy adalah penolakannya terhadap istilah “perampasan” dalam RUU tersebut. Ia menegaskan bahwa istilah yang lebih tepat adalah “pemulihan aset” atau asset recovery, yang merupakan istilah yang lebih umum dalam hukum internasional.
Eddy menjelaskan bahwa perampasan aset hanya merupakan salah satu aspek kecil dari pemulihan aset yang lebih luas. Ada tujuh langkah yang harus dilalui dalam proses pemulihan aset, dan ini bukan hal yang mudah.
Dia juga menyatakan bahwa telah melakukan penelitian yang mendalam selama tiga tahun tentang langkah-langkah tersebut. Penelitian ini membuktikan bahwa proses pemulihan aset sangat kompleks dan memerlukan perhatian serius.
Proses Pembahasan RUU dan Target Waktu Penyelesaian
DPR dan pemerintah telah sepakat untuk mempercepat proses pembahasan RUU Perampasan Aset, dengan target penyelesaian pada tahun 2025. Rencana ini diharapkan dapat membantu pengubahan cara hukum yang mendasar dalam pemulihan aset.
Berdasarkan pernyataan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, target tahun ini untuk menyelesaikan semua pembahasan harus dipenuhi. Namun, ia juga menggarisbawahi pentingnya partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan dalam proses tersebut.
Tak bisa dipungkiri bahwa meskipun target ambisius, proses yang kompleks ini membutuhkan waktu. Namun, jika dilakukan dengan cara yang tepat, hasilnya dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi sistem hukum di Indonesia.