Dalam perkembangan terbaru, perjuangan Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen beserta tiga aktivis lainnya untuk membatalkan status tersangka atas dugaan penghasutan dikaitkan dengan demonstrasi beberapa waktu lalu, mengalami kegagalan. Keputusan ini diambil oleh hakim dalam sidang Praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada hari Senin, 27 Oktober, hakim membacakan putusan yang menolak permohonan Praperadilan yang diajukan oleh pemohon. Permohonan tersebut berkaitan dengan proses hukum yang dianggap melanggar hak-hak dari para aktivis yang terlibat.
Sidang dimulai dengan admisi tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa Universitas Riau, yang sekaligus merupakan admin dari Aliansi Mahasiswa Menggugat, Khariq Anhar. Kasus ini tercatat dengan nomor perkara 131 dan 128/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL.
Putusan Hakim Menjadi Sorotan Publik dan Aktivis
Keputusan hakim untuk menolak permohonan Praperadilan ini memicu berbagai reaksi, khususnya dari kalangan aktivis dan mahasiswa. Meski diharapkan mampu memberikan keadilan, keputusan ini justru dianggap sebagai langkah mundur dalam proses perlindungan kebebasan berekspresi. Keberatan ini mencerminkan betapa pentingnya suara masyarakat dalam penegakan hukum.
Saat hakim Sulistyo Muhamad Dwi Putro membacakan hasil putusan, ia menegaskan bahwa permohonan Praperadilan ditolak sepenuhnya. Hal ini semakin menambah panjang daftar keprihatinan atas penanganan kasus oleh lembaga hukum. Penentuan status tersangka oleh pengadilan ditetapkan sebagai sah dan tidak bisa dibatalkan.
Di sisi lain, para hakim juga mengungkapkan bahwa langkah-langkah penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal ini menjadi perdebatan hebat mengenai integritas sistem hukum yang ada, terlebih ketika kaitannya dengan pengusutan kasus yang menyentuh kebebasan berekspresi.
Penyelidikan yang Dipertanyakan oleh Tim Advokasi
Menanggapi putusan tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan rasa kecewa yang mendalam. Mereka menegaskan bahwa hakim seolah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan perlunya pemeriksaan saksi sebelum seorang individu dapat ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini menjadi sorotan karena prosedur yang dilalui dianggap tidak transparan.
TAUD menambahkan bahwa keempat aktivis tersebut seharusnya diberi kesempatan untuk diperiksa sebagai saksi atau calon tersangka sebelum penetapan status. Ini menjadi penting demi menjaga prinsip keadilan dalam penegakan hukum. Banyak pihak menganggap bahwa sidang Praperadilan ini menjadi seremonial tanpa substansi yang jelas.
Keberadaan proses Praperadilan sebagai mekanisme kontrol dalam sistem hukum pun menjadi pertanyaan besar. TAUD melihatnya sebagai langkah kritis dalam menjaga agar penegakan hukum tidak semena-mena dan tetap berpihak kepada keadilan. Tanpa adanya kontrol yang jelas, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin besar.
Implikasi Putusan Ini Terhadap Kebebasan Berpendapat
Putusan ini tentu saja memiliki dampak luas terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak aktivis yang mengkhawatirkan bahwa keputusan ini akan menjadi preseden buruk bagi bentang penegakan hukum yang lebih luas. Ketakutan akan penangkapan sewenang-wenang bisa membuat masyarakat enggan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam aksi-aksi protes.
Aksi demonstrasi diatur dalam semangat kebebasan berpendapat, yang diamanatkan oleh konstitusi. Namun, ketika alat negara justru digunakan untuk mengekang suara-suara kritis, maka legitimasi sistem hukum akan dipertanyakan. Tak hanya itu, statemen publik terkait kebebasan berpendapat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Sebagai bentuk protes terhadap keputusan tersebut, berbagai elemen masyarakat menggalang dukungan untuk mengadvokasi hak-hak aktivis yang terjerat dalam masalah hukum ini. Mereka beranggapan bahwa suara-suara kritis perlu dipertahankan demi masa depan demokrasi yang lebih baik.




