- Analisis Kritis Terhadap Pasal-Pasal Dalam RUU Perampasan Aset
- Risiko Bagi Masyarakat: Beban Pembuktian yang Tidak Adil
- Transparansi dan Akuntabilitas dalam Proses Perampasan Aset
- Partisipasi Publik Dalam Pembahasan RUU Perampasan Aset
- Masa Depan RUU Perampasan Aset: Tanggal Penting dan Proses Selanjutnya
Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset semakin memanas di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu suara kritis datang dari Guru Besar Hukum Universitas Negeri Makassar, yang menyoroti keberadaan lima pasal multitafsir dalam RUU tersebut. Menurutnya, meskipun tujuan RUU ini kebaikan, ada sejumlah pasal yang berpotensi menimbulkan masalah hukum yang serius.
Harris Arthur Hedar, dalam pernyataannya, menekankan pentingnya mencermati pasal-pasal yang ada dalam RUU ini. Dia beranggapan bahwa ketidakjelasan dalam hukum dapat menciptakan ketakutan alih-alih memberikan perlindungan bagi masyarakat. Sebelum disepakati menjadi undang-undang, ia menyerukan agar pasal-pasal tersebut diperbaiki untuk mencegah kerugian sosial yang lebih besar.
Terdapat beberapa pasal dalam RUU Perampasan Aset yang dianggap berpotensi melanggar prinsip-prinsip hukum dasar. Salah satunya yakni Pasal 2, yang memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini, menurut Harris, dapat menggeser asas praduga tak bersalah yang fundamental dalam suatu sistem hukum.
Analisis Kritis Terhadap Pasal-Pasal Dalam RUU Perampasan Aset
Pasal 3 RUU ini juga menjadi sorotan, di mana ia menyatakan bahwa aset tetap dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap individu tersebut masih berlangsung. Doposisif ini berpotensi menciptakan dualisme antara hukum perdata dan pidana, di mana masyarakat bisa merasakan seolah dihukum dua kali.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, yang menyatakan bahwa perampasan dapat dilakukan jika aset dianggap tidak sebanding dengan pendapatan sah, juga menimbulkan kekhawatiran. Harris menegaskan bahwa pendekatan ini terlalu subjektif dan dapat disalahgunakan untuk merugikan masyarakat yang tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai.
Pasal 6 ayat (1) mencantumkan ketentuan bahwa aset dengan nilai minimal Rp 100 juta dapat dirampas, yang menimbulkan kebingungan akan batasan seberapa besar kerugian yang dapat dialami oleh individu. Sedangkan Pasal 7 ayat (1), yang menyatakan bahwa aset bisa tetap dirampas meskipun individu yang terlibat telah meninggal dunia atau dikejar hukum, semakin menambah kerumitan bagi masyarakat.
Risiko Bagi Masyarakat: Beban Pembuktian yang Tidak Adil
Dengan adanya ketentuan bahwa rakyat harus membuktikan kepemilikan jika ingin mencegah perampasan, maka beban pembuktian tersebut mengalihkan tanggung jawab pada masyarakat. Hal ini berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat yang mungkin tidak memiliki akses atau pemahaman yang memadai tentang hukum.
Pakar hukum mengingatkan bahwa dokumen formal yang diperlukan untuk membuktikan kepemilikan haruslah jelas dan dapat diakses. Jika tidak, individu yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan bukti formal dapat kehilangan aset yang seharusnya menjadi hak mereka.
Harris mengusulkan agar RUU ini memberikan perlindungan lebih kepada ahli waris terhadap harta yang diperoleh secara sah. Dengan adanya ketentuan yang mengharuskan ada keputusan pengadilan sebelum perampasan dapat dilakukan, diharapkan prosesnya akan lebih adil dan transparan.
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Proses Perampasan Aset
Salah satu poin penting yang harus diperhatikan adalah kebutuhan akan transparansi dalam proses perampasan. Menurut Harris, masyarakat harus diberikan pendidikan hukum yang memadai agar mereka memahami hak-hak mereka dan tidak mudah terjebak dalam ketakutan terhadap kemungkinan perampasan.
Pendidikan hukum diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang cukup kepada masyarakat untuk menghadapi situasi hukum yang sulit. Sosialisasi terhadap RUU ini harus dilakukan secara menyeluruh agar semua elemen masyarakat memahami implikasinya.
Harris juga mendesak agar proses pengambilan keputusan mengenai RUU ini dilakukan dengan melibatkan suara masyarakat. Partisipasi publik dalam pembahasan RUU akan menciptakan rasa memiliki dan keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil.
Partisipasi Publik Dalam Pembahasan RUU Perampasan Aset
Penting untuk melibatkan banyak perspektif dalam setiap pembahasan RUU, termasuk mereka yang merasa dirugikan oleh ketentuan yang ada. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP, menyuarakan hal yang serupa dengan menekankan perlunya partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Perampasan Aset.
Dia menganggap bahwa pembahasan RUU ini harus mencakup masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari perguruan tinggi. Senat DPR akan melakukan kunjungan ke kampus untuk mendengarkan berbagai pandangan tentang RUU tersebut sebelum disetujui.
Sikap hati-hati dalam proses ini sangat penting agar UU tidak disalahgunakan sebagai alat oleh penguasa. Ada keprihatinan bahwa RUU ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu dan bukan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Masa Depan RUU Perampasan Aset: Tanggal Penting dan Proses Selanjutnya
Sekarang ini, RUU Perampasan Aset masih dalam tahap penyusunan naskah akademik di Badan Keahlian DPR. Meskipun saat ini masih dalam tahap draft, ketentuan yang ada kemungkinan akan berubah seiring dengan kemajuan diskusi di parlemen.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah sepakat untuk menyelesaikan proses pembahasan RUU ini pada tahun 2025. RUU ini direncanakan untuk dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2025, menunjukkan betapa pentingnya isu ini bagi legislatif dan eksekutif.
Ketua Baleg DPR menekankan bahwa semua proses ini harus berarti dan tidak sekadar formalitas. Keberhasilan dalam membahas RUU Perampasan Aset akan menentukan seberapa besar kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia ke depan.