Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pengelolaan keuangan PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) telah menarik perhatian publik. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) baru saja menetapkan dua tersangka dalam penyelidikan ini, yaitu Rahman Akil dan Debby Riaumasari, yang menjabat sebagai Direktur Utama dan Direktur Keuangan SPR pada periode 2010 hingga 2015.
Penyidikan ini berawal dari perubahan status PT SPR yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi Riau menjadi perseroan terbatas. Pihak penyidik menemukan adanya kejanggalan dalam pengeluaran keuangan yang diduga tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Kombes Bhakti Eri Nurmansyah dari Kortas Tipidkor menjelaskan bahwa hasil penyidikan telah menunjukkan kecukupan bukti untuk menetapkan kedua tersangka. Dalam konferensi persnya, Bhakti mengungkapkan langkah-langkah yang diambil oleh kedua tersangka yang mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang.
Latar Belakang dan Perubahan Status PT SPR sebagai BUMD
Perusahaan ini sebelumnya beroperasi sebagai BUMD sebelum berubah menjadi perseroan terbatas. Penetapan Rahman Akil dan Debby Riaumasari sebagai pemimpin perusahaan ini dilakukan melalui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 12 Mei 2010. Sejak saat itu, mereka bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan SPR.
Dari laporan yang ada, pada 15 Oktober 2009, PT SPR mendirikan anak perusahaan bernama PT SPR Langgak yang berfokus pada kegiatan pertambangan. Keputusan ini diambil untuk memperluas cakupan usaha perusahaan dalam industri yang memiliki potensi besar di daerah tersebut.
Pada 30 November 2009, konsorsium yang terdiri dari PT SPR dan Kingswood Capital LTD melakukan kerja sama untuk mengelola blok wilayah kerja Langgak melalui kontrak selama 20 tahun. Kesepakatan ini menjadi langkah strategis bagi perusahaan untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat posisinya di bidang pertambangan.
Indikasi Penyimpangan dalam Pengelolaan Keuangan
Dalam proses audit, ditemukan sejumlah tindak penyimpangan yang diduga dilakukan oleh Rahman dan Debby. Mereka dituduh telah melakukan pengeluaran keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), yang merupakan pedoman dalam pengelolaan BUMD untuk menghindari korupsi.
Di antara tindakan yang dicurigai, keduanya diduga melakukan pengadaan yang tidak diiringi oleh analisis dan kebutuhan yang jelas. Banyak transaksi dibuat tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan dampak keuangan bagi perusahaan.
Audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan mengestimasi kerugian keuangan negara akibat tindakan ini mencapai lebih dari Rp33 miliar dan sekitar 3.000 USD. Jumlah ini menunjukkan besarnya dampak dari dugaan tindakan korupsi yang berlangsung selama periode tersebut.
Langkah Hukum dan Potensi Konsekuensinya
Dari hasil penyidikan, kedua tersangka dijerat dengan pasal-pasal yang tertera dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penegakan hukum terhadap mereka diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi seluruh pengelola BUMD di seluruh Indonesia tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas.
Jika terbukti bersalah, Rahman dan Debby dapat menghadapi hukuman penjara dan denda yang berat, sebagai bentuk sanksi untuk memberi efek jera kepada pelaku korupsi lainnya. Kasus ini juga mencerminkan upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi yang masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Sebagai langkah lanjut, eksekutif perusahaan dan pengurus lainnya diharapkan lebih kolaboratif dengan pihak berwenang untuk memajukan integritas dalam pengelolaan BUMD. Penelitian dan pengecekan menyeluruh perlu dilakukan untuk mencegah kasus serupa di masa yang akan datang.